Walaupun terletak di ngawi lokasi agrowisata teh ini justru lebih dekat dari Sragen yang hanya 40 km arah timur, sementara dari Kota Ngawi arah barat berjarak 45 km, dan bila ditempuh dari Kota Surabaya sekitar 245 km.
Perkebunan teh ini merupakan peninggalan Kolonial Belanda tahun 1886, pertama kali dikembangkan oleh pengusaha negeri Kincir Angin, Van der Rap. Kemudian mengalami pergantian pengelola beberapa kali, sampai akhirnya mulai tahun 1973 hingga kini dikelola oleh swasta, PT Candi Loka.
Lahan perkebunan yang berada di ketinggian 800 hingga 1.200 mdpl (meter di atas permukaan laut) ini, tergolong jenis andosol dan regosol. Curah hujan rata-rata di Jamus 2.500 mm/tahun dengan suhu berkisar 18-20 derajat celcius serta kelembaban 80-90 persen.
Kondisi seperti ini menjadikan kawasan Jamus menjadi obyek agrowisata yang menawan dan nyaman serta sayang untuk dilewatkan.
Salah satunya yang cukup menarik, pohon Kantil raksasa berusia 100 tahun lebih yang berada di dekat gerbang tempat rekreasi Jamus. Monumen alam ini tetap dilindungi, sehingga tidak heran bila Perkebunan Teh Jamus mendapat penghargaan Kalpataru pada tahun 2004, atas kepeduliannya menjaga lingkungan hidup.
Agrowisata kebun Teh Jamus, selain menawarkan pemandangan menawan, juga memberikan nilai edukatif dengan menyaksikan langsung proses aktivitas perkebunan, mulai tanam, petik hingga proses pengolahan teh sampai pengemasannya untuk siap jual.
Pihak pengelola, juga menyediakan pemandu yang memberikan penjelasan secara seluruhan proses teh di perkebunan yang setiap bulan menproduksi 40 sampai 50 ton bahan baku teh hijau dan hitam untuk pabrik teh kemasan tidak hanya dalam negeri, tapi juga mancanegara seperti Inggris dan Belanda.
Bukit Borobudur
Salah satu bukit yang tertutup pohon teh di kawasan Perkebunan Teh Jamus menjadi obyek wisata menarik, karena bentuknya yang menyerupai candi Borobudur, sehingga dikenal sebagai “Borobudur Hill” atau Bukit Borobudur.
Bukit setinggi 35,4 meter tersebut dengan luas areal 3,54 ha, ditumbuhi 35.400-an pohon teh, dilihat dari kejauhan rimbunan pohon teh berundak tersebut, memang mirip dengan Candi Borobudur.
Di puncak Bukit Borobudur tersisa beberapa pohon teh tua yang sengaja tidak dipangkas, yang tingginya rata-rata dua meter. Inilah pohon teh yang berusia lebih dari 100 tahun, merupakan pohon teh generasi pertama yang ditanam Van de Rap.
Untuk mencapai Bukit Borobudur, pengunjung harus berlelah ria menapaki 117 anak tangga terbuat dari tumpukan batu kali, yang tersusun cukup rapi.
Di kawasan rekreasi berhawa sejuk yang mengenakan karcis masuk hanya Rp2.000,00 per orang, terdapat fasilitas kolam renang yang diperuntukan bagi anak-anak, dimana airnya berasal dari sumber mata air alami Sumber Lanang (pria).
Airnya cukup dingin dengan suhu berkisar 15-22 derajat celcius. Konon, banyak warga setempat percaya bahwa air Sumber Lanang yang bisa langsung diminum tanpa dimasak dulu mampu membuat awet muda.
Air dari Sumber Lanang pernah diteliti di laboratorium, hasilnya air mengandung mineral tinggi sehingga bisa menyehatkan tubuh. Debit air Sumber Lanang 90 liter per detik. Berdasarkan potensi itulah, pihak perkebunan selain mengelola kebuh teh juga memanfaatkan sumber daya air untuk pembangkit listrik, mikrohidro yang menghasilkan listrik 90 ribu watt.
0 Response to "Agrowisata Perkebunan Teh Peninggalan Belanda(JAMUS)"
Post a Comment